Ibu dan Pohon Halaman Belakang

Ia masih terduduk sepi di sudut ruang keluarga.
Matanya berkaca-kaca sejak ayahnya menyeret paksa ibunya ke halaman. Saking kasarnya, potret keluarga dan foto masa kecilnya berjatuhan ke lantai. Hujan terus turun dan Ia tetap terduduk di sana, setidaknya ia tak menangis. Ya karena ia laki-laki, maka menurutnya ia tak boleh menangis.
Lalu, demi mendengar derap langkah patah-patah dari arah pintu. ia bediri. Meraih tubuh renta ibunya hingga mereka sama-sama terjatuh di lantai. Ia tetap tidak menangis. Kenyataan bahwa ayahnya berselingkuh, ibunya tak mampu bercerai dan ia anak sulung telah cukup membuat ia bersikap tegar selama ini.
Esoknya pagi-pagi, ia mendatangi Muktamar serius yang diadakan di sebuah kantor yang telah lama ingin ia datangi. Tekadnya kuat kali ini. Dengan pipi kiri yang masih lebam ia mulai bediri di depan ruang besar tersebut. Tak berapa lama, rombongan kongres keluar dari ruangan saling tukar obrolan dan memilih mengabaikan Ije yang berdiri masih dengan mimik yang sama sejak memasuki kantor. Baru ketika seorang gadis sebayanya dengan hijab sekenanya keluar dan tertegun di hadapannya, mukanya sedikit tegang. Perempuan itu langsung paham kehadirannya, ia diajak mengobrol di ruang kerja perempuan tadi. Lama Ije menatap benci kepada perempuan manis itu, perempuan dengan karir yang bagus, seorang peneliti gender yang telah bertahun.
“kalau kedatanganmu kesini ingin meminta aku berhenti berhubungan dengan ayahmu. Tak akan kulakukan” katanya dengan santai sambil membolak balikkan kertas di atas meja.
Ije masih menatap benci. Ia berdiri cepat dan meraih tangan perempuan itu. Dengan gerahan gigi yang berusaha ia control ia mendengus marah
“kau ingin apa dari ayahku, hah?”

“aku ingin bersama ayahmu, mengapa sulit bagimu untuk paham?” ia berkata seperti itu sambil menarik tangannya.
“aku menginginkan ayahmu dan aku tak peduli dia memilikimu dan ibumu. Aku menunggu kalian berpisah baik-baik. Meskipun.. maaf, ayahmu harus sedikit kasar pada ibumu”
“diaaaam..” ia kehilangan kontrol, menggeram marah menunjuk wajah perempuan tadi. Dengan nafas memburu ia membanting pesawat telepon dan tumpukan draft di meja lalu keluar dengan wajah yang panas.
Setiba di rumah ia mendapati ibunya gelisah di muka rumah. Wajah ibunya merah menahan marah. Tepat sebelum ia sempat berkata apa-apa, satu tamparan melayang di wajahnya. Ibunya tak tahu apa-apa tentang perasaan yang baru saja Ije alami,terlebih kondisi psikologi Ije setelah bertemu selingkuhan ayahnya.
“untuk apa kau mendatangi kantor perempuan itu?” ibunya berkata seperti itu sambil menangis. Tangis yang membuat Ije batal mengucap sumpah serapah. Ije berdiri kaku, raganya lelah, dan ia tak mampu menangis. Ia masuk ke dalam rumah membanting tubuhnya di atas kasur di dalam kamarnya. Ia ingin menangis, ia ingin marah, ia ingin ibunya bahagia. Ia tak mengerti ibunya. Ibunya hidup dengan ideologi yang ia bentuk sendiri dan Ije sering sangat ingin tahu sedikit saja tentang itu agar ia dapat mengerti ibunya.
Lewat tengah malam, ayahnya pulang. Kali ini tak ada bau alkohol atau bentakan keras ayahnya. Ije hampir heran hingga ia tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ayahnya pulang membawa kabar yang lebih membuat heran. Ayah meminta ibu menggugat cerai. Kali ini tanpa pukulan atau bentakan, ayahnya meminta dengan ketenangan yang mengherankan. Ibu menangis tersedu di kaki sofa memeluk foto perkawinan mereka yang sebulan lagi berusia 25 tahun.
“kalau besok belum juga kau ajukan, aku akan mengurusnya” kata-kata terakhir ayah sebelum akhirnya menarik tas kerja dan keluar ke halaman. Ibu masih mengejar hingga ke pintu, memohon. Ia tidak ingin bercerai, ibu ingin mempertahankan bahtera rumah tangganya. Ibu sangat mencintai suaminya, mungkin lebih dalam dibanding cinta kepada anaknya. Mungkin. Maka malam ini, Ije harus tidur dengan suara lolongan yang mengiris hati, hingga subuh. Kejutan belum berhenti.
Esoknya pagi-pagi sekali Ije dibangunkan suara dentingan alat makan dari dapur, itu tidak biasa. Sejak ayahnya ketahuan berselingkuh, ibunya tak pernah lagi berlaku sebagai ibu rumah tangga, dapur tak pernah tersentuh. Ije diluaskan untuk mengurus hidupnya sendiri. Maka pagi ini, Ije segera mandi, bersemangat. ibunya membuatkan sarapan, duduk manis di halaman belakang menunggu Ije. Setelah bergabung, Ije melihat pancaran wajah ibu yang tidak sendu seperti biasanya. Ia merasa bahagia. Ibunya telah kembali. Mereka kini tengah duduk di halaman belakang yang asri, dengan kursi dan meja yang sedikit lapuk.
“ibu menandatangani surat cerai itu” ucap ibu dengan ketenangan luar biasa.
Aku memandang heran, masih dengan mulut terkatup yang tak mampu menyentuh sarapan pagi ini. Aku malah berfikir ini mimpi. Tapi tidak, ini bukan mimpi. Lihatlah wajah ibu terpapar cahaya matahari pagi. Sangat cantik. Kecantikan khas yang tak lagi kutemui sejak setahun terakhir.
“pohon itu…” Ibu mengejutkanku. Ia menunjuk pohon dengan daun lebat di depan kami. “pohon itu sudah ada sejak ibu dilahirkan. Ia tumbuh dan besar bersama ibu. Bagaimana menurut mu jika pohon itu ditebang saja? Halaman ini terlalu hijau”
Ibu berkata seperti itu dengan nada sedih. Tampak kekecewaan mendalam terlihat diwajahnya.
“jika ditebang, pohon ini mungkin akan melahirkan pohon baru yang lebih rindang”
ibu menampakkan wajah sumringahnya kembali. Aku hanya mendengarkan. Terlalu terpukau atas apa yang terjadi pagi ini. Aku bahkan takut berkata sesuatu yang bisa merusak momen indah pagi ini. Keceriaan ibu masih berlangsung hingga malam, meskipun kami berdua saja di rumah. Aku cukup bahagia. Ibu memasak makan siang yang enak. Malamnya juga ibu memasak masakan kesukaanku, ia bahkan tak berhenti menatap aku yang makan dengan lahap. Selepas makan malam, ibu mengantar aku ke kamar.
“ibu sudah menebang pohon belakang rumah, selamat malam sayang” ibu berkata seperti itu dengan tenang sambil menutup pintu kamar. Malam ini, aku tertidur dengan perasaan hangat. Terima kasih Tuhan.
Esoknya Ije bangun dengan perasaan campur aduk. Tak lagi ia dapati suara dentingan alat dapur dan aroma sarapan. Masih dengan perasaan heran, Ije mendatangi dapur yang tentu saja kosong seperti biasa, didorong oleh rasa penasarn, ia mendatangi kamar ibu. Mungkin ibu sakit pagi ini, ucapnya dalam hati.
Pintu ia buka secara perlahan, takut membangunkan ibunya yang mungkin masih tertidur. Namun yang terjadi selanjutnya adalah ia berdiri dengan lutut yang lemas, tangannya mencoba berpegang di daun pintu. Di depannya, ibu yang sangat ia cintai tergantung seutas kabel. Ibunya bunuh diri pagi ini.
***
Ibunya telah dikebumikan, ibu tertidur dengan terlihat sangat sublim. Bahkan awan pekat siang itu bertengger kelam di langit. Ikut bersedih mengantarkan kepergian ibu.
Ije masih terduduk diam di halaman belakang, tenggelam dalam duka. Satu dua tamu yang ikut berduka telah pulang ke rumah masing-masing. Ayahnya tak kunjung datang. Hingga sore hari, Ije terus duduk seperti itu. Perasaannya hancur, ia tak merasa punya siapa-siapa. Ia memandang lama pohon yang ditebang ibunya beberapa hari yang lalu. Ia bukan filsuf tapi kini ia paham sesuatu. Ia menangis.

Penulis: Tari Artika

Haiii, Terima kasih telah berkunjung, hubungi saya melalui email tariartikasari@gmail.com :)

Satu komentar pada “Ibu dan Pohon Halaman Belakang”

Tinggalkan Balasan ke Anonim Batalkan balasan