Pasukan Bintang (Bagian Satu)

“Susahmi berhenti kak.. nda bisami.”

Sukma, salah satu adik damping di sekolah nonformal Komunitas Pecinta Anak Jalanan (KPAJ) yang saya ikuti berkata seperti itu sambil memandang jauh ke depan. Saya masih dalam posisi sama, menunduk ke bawah sambil memikirkan pilihan kata yang paling tepat untuk bertanya. Saya sedang mengambil sesi khusus di tengah-tengah adik-adik sedang belajar. Sebenarnya, saya sering bertanya tentang hal ini “siapa-siapa adik yang masih turun ke jalan?” pertanyaan tersebut bisa jadi adalah pertanyaan paling menyebalkan yang mereka dapatkan sepanjang mengikuti sekolah nonformal. Pertanyaan yang kadang mereka jawab dengan jujur atau hanya menuai diam yang panjang. Ah iya, biar saya jelaskan dulu mengapa saya bertanya seperti itu. Mengapa saya sedemikian lancang mengurusi kehidupan mereka.

Saya bergabung dengan Komunitas ini tahun 2012. Waktu itu, saya tidak lupa. Saya datang dengan kaos putih dan belum mandi. Pagi-pagi jam 9 saya dijemput seorang teman dan diajak ke tempat ini. jujur, saya tidak begitu suka anak-anak. Jadi, setengah jam sebelumnya saya hanya diam berdiri memperhatikan apa yang mereka lakukan. Seorang teman yang kira-kira 5 tahun lebih tua dari saya duduk di depan menjelaskan pelajaran hari itu. Saya masih berdiri, sampai seorang anak yang entah mengapa tiba-tiba melempar tas kepada temannya. Mereka berdua sontak berdiri mengambil posisi ingin menyerang satu sama lain. Saya tidak suka anak-anak, tapi saya lebih tidak suka melihat anak-anak menangis. Maka dalam keadaan refleks, saya menarik tangan anak yang melempar tas tadi dan menghindari amukan anak yang satunya lagi dengan berada diantara mereka. Hasilnya, tangan kiri saya luka terkena cakaran dan baju putih saya kotor terkena tendangan. Hari pertama mengajar di Sekolah nonformal KPAJ.

“Mereka sebenarnya anak-anak yang manis, hanya…” kalimat itu terhenti. Kak iyan, penanggung jawab kelas ini berbicara kepada saya dengan nada yang tidak nyaman. Saya tersenyum, memasang wajah baik-baik saja. Selalu harus ada moment yang membuat kita akhirnya “betah” dalam sebuah kelompok. Dan saya menemukan moment itu di hari pertama saya menjadi volunteer .

Tiga tahun yang lalu, Pasukan Bintang (PB) masih sedemikian sulit diatur. Perkelahian seperti itu masih kerap saya temukan hingga tahun 2014 meski banyak yang berubah dalam beberapa tahun terakhir. Mereka terus bertumbuh, biaya sekolah semakin besar, masalah silih berganti datang dari banyak arah. Namun, Satu hal yang kelihatannya sangat sulit untuk diubah adalah kebiasaan adik-adik yang masih turun untuk meminta-minta di jalan.

1176206_501587136599574_1350797258_n

KPAJ memberikan beasiswa kepada 20 adik binaan yang dianggap “tepat” untuk menerima. Tidak asal memberi, untuk menerima beasiswa tersebut pengurus KPAJ harus melihat latar belakang keluarga penerima, menyekolahkan anak yang belum bersekolah, dan membuat surat perjanjian resmi dengan orangtua penerima beasiswa. Surat perjanjian tersebut berisi kesediaan orangtua untuk mengijinkan anaknya bersekolah, mengikuti sekolah nonformal (Sekolah Ahad) dan tidak turun meminta-minta ke jalan. Satu syarat terakhir yang ternyata tidak semudah menuliskannya ke dalam kertas perjanjian dan tidak semudah diobrolkan saat bertemu dengan orangtua mereka.

“Masih banyak yang turun kak..”

Sukma berkata seperti itu sambil berbisik, takut terdengar adik-adik yang lain. Saya segera mengerti. Sukma menyebutkan beberapa nama adik Pasukan Bintang yang segera saya tahu ihwal mengapa mereka masih turun ke jalan. Saya tidak memaklumi, sama sekali tidak.

Agus, seorang adik yang paling sering saya temui turun ke jalan. Agus adalah seorang anak yang sangat aktif saat mengikuti Sekolah Ahad. Termasuk sangat aktif dan sering meminta perhatian kakak volunteer  dengan cara yang tidak biasa. Aku mahfum, Agus tinggal bersama dengan orangtuanya namun lebih banyak menghabiskan waktu di Jalanan. Ibunya mengemis, Agus ikut ibunya mengemis dan seringkali terdengar bahwa Agus harus ikut mengemis, jika tidak maka ia akan dipukuli. Sedangkan ayahnya tidak bekerja. Mengapa? Mengapa ayahnya tak bekerja? Aku tak pernah memeroleh jawaban atas mengapa yang satu ini. Agus termasuk salah satu dari 20 adik yang mendapat beasiswa. Namun, berkali-kali dipergoki masih turun di jalan, berkali-kali berbicara langsung dengan orangtuanya, berkali-kali meminta penjelasan langsung kepada Agus, tak berhasil. Bulan kemarin beasiswa Agus harus diputus.

Sudah dua pekan Sekolah Ahad saya tak bertemu Agus. Seseorang yang terlalu menarik perhatianmu setiap minggu dan tiba-tiba menghilang begitu saja tentu akan membuatmu merasa kehilangan. Agus tidak datang pekan ini, teman-teman mengaku melihat Agus tapi tidak begitu sering. Satu hal yang masih saya syukuri adalah teman-temannya masih melihat Agus ke Sekolah. Kalau tidak, saya pasti sudah putus harapan saat itu juga. Agus, kakak rindu dek.

Urusan menarik perhatian, selain Agus tentu saja. Ada seorang adik yang juga perjalanan pendidikannya sangat menyita perhatian. Sarina, teman-temannya akrab memanggil ia Ina. Sebelum bergabung dengan KPAJ, Sarina sempat bersekolah hingga kelas 2 SD. Namun, harus berhenti karena tidak adanya biaya pendidikan dan harus ikut membiayai kebutuhan keluarga. Suatu hari, Ina mengaku ingin kembali bersekolah. akhirnya Ina pun mengikuti bimbingan intensif selama tiga bulan di rumah belajar KPAJ untuk mengikuti ujian paket A. Ina lulus, ia diterima di SMP terbuka. Masalah tak berhenti sampai disitu, Ina beberapa kali hampir berhenti sekolah, masalahnya tetap sama. Ia harus ikut turun ke jalan membantu mencari uang untuk membiayai keluarganya. Beberapa kali kakak KPAJ mencoba untuk mencari jalan tengah permasalahan termasuk berbicara dengan orangtua Ina. Ah iya.. bagian ini bagian saat beberapa orang kakak mendatangi rumah Ina untuk berbicara kepada orangtua Ina. Saat itu kami disambut Ibu Ina, ia pasrah. Ina lebih baik turun ke jalan membantu keluarga ketimbang harus lanjut sekolah. Meskipun, seluruh biaya sekolah ditanggung oleh KPAJ, tetap saja sekolah terlalu mengambil waktu menurut ibu Ina. Ringkasnya, lebih baik Ina mencari uang sepanjang hari.

“Siapa yang harus cari uang?, bapaknya Ina nda kerja”

Begitu kira-kira kata-kata ibu Ina saat kami berusaha mencarikan jalan untuk tetap mempertahankan Ina bersekolah. Pahit, meskipun akhirnya kesepakatan yang terjadi adalah Ina diberi modal untuk berjualan dan tetap sekolah. Hingga kini, di usia 19 tahun Ina dengan pasang surut masalah yang dihadapi masih terus bersekolah hingga kini telah SMK.

Sukma masih menyebutkan beberapa nama yang diakuinya masih turun ke jalan. Saya masih mendengarkan dengan diam sampai dia menyebutkan satu nama yang sempat membuat saya kaget.

“Risma? Lah Risma juga turun ke jalan?” saya memotong Sukma

“Iya kak, dan katanya kalau nda turun ke jalan dipukuli sama mamaknya”

Saya meringis, mencari Risma dengan pandangan mata ke sekitar. Saya mendapati ia sedang menggunting potongan hiasan yang akan ditempel di surat yang ia tulis barusan, tema Sekolah Ahad hari ini. Saya amat penasaran, selama ini Risma tidak pernah turun ke jalan. Ah apa saya selama ini kurang memperhatikan adik-adik. Sayapun selesai dengan Sukma, saya memanggil Risma untuk bicara berdua. Ia heran tentu saja. Kami bercerita satu sama lain, bercerita hal-hal biasa, hal-hal tidak penting lainnya. Saya tidak menyinggung sedikitpun tentang beasiswa hingga akhirnya di menit ke duapuluh lima ia mengaku.

“kak, mauka tanya.. bagaimana itu kalau anu kak”

Ia berkata seperti itu putus-putus sambil menunduk, kami akhirnya masuk kedalam pembahasan paling saya hindari selama ini : membahas kehidupan mereka. Kadangkala saya menjadi sangat sentimen, sangat perasa. Oleh karenanya, sebisa mungkin saya hanya akan mendengar kisah hidup mereka dari kakak pengurus yang lain. Hanya kali ini, saya harus menguatkan diri untuk mendengar langsung. Masih dengan wajah tunduk Risma bercerita. Ia mengaku turun ke jalan sebulan belakangan ini, Risma bercerita panjang lebar perihal mengapa ia akhirnya turun ke jalan.

“saya juga mau punya barang-barang seperti teman yang lain kak”

Dia akhirnya balas memandang, ingin tahu reaksi apa yang saya tunjukkan. Masih dengan ekspresi yang sama, dengan perubahan suasana hati yang tak lagi sama tentunya. Saya mengangguk pelan memberi isyarat untuk ia melanjutkan ceritanya. Ia kembali bercerita bagaimana teman-temannya yang lain mampu membeli apa saja sedangkan ia dan teman-teman Pasukan Bintang yang bersekolah di tempat yang sama, bahkan untuk membeli buku yang diusulkan sekolah mereka tak mampu. Saya hampir menangis kali ini, membayangkan saya dan teman-teman memaksa mereka untuk terus bersekolah, jarang memikirkan bagaimana perasaan mereka harus bersekolah dengan segala keterbatasan yang tidak selalu mampu kami penuhi. Usai bercerita panjang lebar tentang sekolah, kami kembali ke topik awal tentang mengapa ia harus turun ke jalan.

“Nda dipukul jeki kalo nda ikut ki mengemis?”, tanya saya hati-hati.

Ia kaget, refleks mengangkat wajah menggeleng cepat. Saya berusaha menangkap maksud gelengan itu, namun ia kembali terdiam lama. Kami akhirnya terdiam lama sekali hingga saya kembali bertanya apakah masih ada hal yang ingin ia tanyakan atau sampaikan. Kami mengakhiri sesi saling curhat siang itu dengan pertanyaan yang masih menggantung di kepala saya. Terakhir, saya saling berbagi cerita dengan Ramlang mantan ketua Pasukan Bintang yang tahu banyak hal tentang teman-teman mereka.

Siapa juga mau jadi peminta-minta kak? Malu.”

Kalimat tersebut jadi akhir pembicaraan kami. Iya, saya paham dengan kebutuhan kehidupan yang semakin mahal, tuntutan hidup yang semakin menjadi-jadi, dan banyak kebutuhan lain yang mungkin tidak saya pahami. Tapi, yang tidak bisa saya mengerti adalah apakah meminta-minta menjadi satu-satunya jalan? Apakah anak-anak yang dalam usia sekolah juga harus turun ke jalan membantu orangtua? Perkembangan kota Makassar yang sangat pesat melahirkan persaingan hidup, sehingga muncul fenomena kehidupan yang berujung pada kemiskinan. Sarina yang harus terus bersekolah sekaligus mencari uang untuk membantu menafkahi keluarga dengan 10 saudara, dengan ayah yang tidak bekerja. Agus, yang harus ikut mengemis bersama ibunya hingga larut malam dan jika tidak ikut mengemis maka ia akan dipukuli, juga Risma yang mengaku turun ke jalan karena ingin mencari uang untuk pemenuhan kebutuhan membeli sesuatu yang juga ia ingin miliki seperti anak-anak yang lain, karena mengemis adalah cara paling instan untuk mendapatkan uang.

Jika ditanya apa masalah yang paling sulit saya hadapi selama menjadi pengurus komunitas ini, maka jawabannya adalah menghadapi orangtua mereka. Kemauan seorang anak untuk bersekolah kadang berbanding terbalik dengan keinginan orangtua yang justru lebih menginginkan anak-anak mereka mendapatkan uang dengan cepat. Anak-anak yang turun ke jalan di malam hari hingga larut malam, esoknya harus bangun pagi-pagi untuk bersekolah siangnya mungkin bermain mungkin kembali turun ke jalan. saya sering memikirkan hal tersebut dengan kepala yang sesak pertanyaan.

Apa yang salah di sini?

(Bersambung)