Natisha dan Ingatan Tentang Kampung Halaman

Dulu, waktu masih kecil saya sering ditakut-takuti dengan dua nama hantu yang paling sering disebut-sebut oleh para orangtua, parakang dan poppo’. Kedua jenis hantu ini populer di daerah suku Bugis termasuk daerah saya, Pinrang. Para orangtua sering menyebutnya dengan bisik-bisik sambil meyebut nama seseorang yang merupakan warga di kampung kami. Waktu itu usia saya masih terlalu dini untuk menafsirkan potongan-potongan cerita para orangtua. Satu hal yang saya ketahui bahwa dulu saya memutuskan percaya hal tersebut setelah pernah melihat dan mendengar sendiri hantu yang disebut parakang dan poppo’ ini.

Natisha merupakan novel yang apik. Deskripsi penulis menggambarkan latar dan suasana membawa saya pada serangkaian ingatan tentang masa lalu di kampung halaman. Wajar saja, Natisha dilahirkan oleh penulis sekaligus penyair Khrisna Pabichara. Novel ini bercerita tentang seorang gadis bangsawan Makassar bernama Natisha yang dibawa lari oleh seorang penganut ilmu kuno parakang bernama Rangka sehari sebelum pernikahannya dengan Tutu. Rangka dan Tutu telah lama bersahabat namun diam-diam Rangka menyimpan sejumlah dendam pada Tutu. Rangka membawa lari Natisha demi melunsakan dendam dan demi kesempurnaan ilmu parakang yang harus mempersembahkan 4 perempuan yng tabiatnya selaras dengan 4 unsur alam : air, tanah, api dan angin. Watak Natisha yang ibarat angin, selagi sabar sangat sabar, selagi kuat sangat kuat membuat ia dijadikan sebagai persembahan terakhir dalam upacara tersebut.

1463540114096

Mengambil latar tahun 1998 ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi, novel ini juga meledak-ledak dengan runtun konflik yang terjadi. Tutu, sebagai tokoh yang sering hampir putus asa mengajak pembaca melihat kembali apa yang telah terjadi dan kemungkinan apa yang akan terjadi. Pembaca diajak ikut resah dengan konflik batin Tutu yang diracik dengan khazanah tradisi khas Sulawesi Selatan. Pembaca diajak paham dan sadar betapa kompleks ilmu kuno parakang tersebut, ilmu yang bagi beberapa orang hanya dongeng orang terdahulu dan bagi beberapa orang lainnya merupakan sesuatu yang benar-benar ada.

Tahun 2003 saat saya masih duduk di bangku SD, kali pertama saya merasa percaya tentang adanya parakang tersebut. Waktu itu, seorang nenek di kampung kami meninggal selepas isya. Karena masih merupakan tetangga dekat, saya ikut datang bersama Ibu. Jenasah baru akan dimakamkan besok pagi sambil menunggu keluarga almarhumah datang. Baru saja Ibu berbisik agar saya segera pulang lantaran malam semakin larut, orang-orang di kolong rumah tiba-tiba heboh. Mereka berteriak berseru parakang.. parakang.. membuat suasana di atas ikut heboh. Beberapa pemuka kampung naik ke rumah memeriksa kondisi jenasah, sedangkan pemuda Desa berlarian mengejar yang disebut parakang tersebut yang berwujud binatang.

Sejak itu, para orangtua kasak-kusuk menebak siapa dibalik wujud hewan jadi-jadian tersebut. Sejak itu pula saya tahu bahwa parakang merupakan manusia yang berubah wujud. Penduduk kampung percaya, parakang tersebut benar adanya. Kadang-kadang ia berubah wujud menjadi binatang, benda atau tumbuhan. Kadang-kadang ia berada di belakang rumah yang penuh dengan air buangan dari atas rumah panggung dan kadang ia mengunjungi seseorang yang sakit.

Dalam cerita masa lalu yang saya ingat, saya pernah sakit dan dikunjungi oleh tetangga yang katanya menganut ilmu parakang. Saya ingat diajar oleh Nenek untuk menjawab pertanyaan yang akan ditanyakan oleh parakang tersebut. Parakang yang mengunjungi orang yang sakit biasanya akan bertanya apakah orang tersebut sakit dan sakit apa yang ia derita. Saat itu nenek mengajarkan saya untuk menjawab bahwa saya sudah sehat dan saya meminta orang tersebut untuk menyembuhkan bila saya benar-benar sakit. Kebetulan atau tidak, tetangga yang diduga parakang tersebut akan pulang setelah dua pertanyaan itu.

Membaca Natisha tidak hanya membuat saya bernostalgia dengan ingatan tentang kampung halaman. Natisha juga menjadi dongeng di kepala saya. Apik diksi yang digunakan oleh Khrisna Pabichara membuat pembaca seolah-olah sedang membaca dongeng atau bertualang. Sayangnya, menurut saya beberapa bagian memuat alur yang sangat lamban dan membosankan sehingga membuat saya ingin melewati beberapa bagian saking penasaran dengan apa yang akan terjadi selanjutnya dan membuat saya berhenti beberapa jenak karena merasa bosan. Bagian tersebut saya rasakan pada alur mundur Tutu mengingat kenangan lalu, mungkin sebenarnya saya bosan dengan hal-hal yang sifatnya masa lalu (atsssah 😀 ).

Natisha, novel yang rekomendasi untuk dibaca. Novel yang melalui perjalanan panjang ini juga kaya akan pengetahuan tentang tradisi Sulawesi Selatan. Bacalah sebelum tidur, agar hangat jiwa Tutu, dinginnya kampung Turatea, dan indah pilihan kata Khrisna Pabichara bisa mengalir ke dalam mimpi dan membuatmu tenang sepanjang tidur.

Penulis: Tari Artika

Haiii, Terima kasih telah berkunjung, hubungi saya melalui email tariartikasari@gmail.com :)

4 tanggapan untuk “Natisha dan Ingatan Tentang Kampung Halaman”

Tinggalkan komentar